Lin Yi Jing Yuan, Jakarta Belakangan ini ramai diperbincangkan mengenai penurunan usia menikah dan penurunan angka pernikahan di Indonesia.
Pada tahun 2023, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan hingga angka terendah yaitu 1.577.255 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Informasi tersebut terungkap dalam Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 Volume 52 yang baru-baru ini dirilis.
Pada tahun 2021, jumlah pernikahan sebanyak 1.742.049 jiwa. Sedangkan angka pernikahan turun menjadi 1.705.348 pada tahun 2022.
Dibalik menurunnya fenomena viral pernikahan, Deputi Bidang Pertahanan, Mobilisasi dan Penerangan (Adpin) BKKBN Sukaryo Teguh Santoso mengingatkan, ada hal penting lain yang perlu diperhatikan.
“Yang disebutkan itu mereka yang sudah menikah. Tapi apakah yang sudah menikah itu sama dengan yang melakukan hubungan seks di luar nikah?” kata Sukaryo dalam siaran pers yang dikutip, Rabu (13/3/2024).
Sukaryo menilai tren keengganan menikah di kalangan generasi muda bukanlah hal yang menentukan, meski tetap perlu mendapat perhatian.
Namun untuk hubungan seks yang belum menikah, namun berhubungan seks di luar nikah sebenarnya sebaiknya dihindari. Harus hati-hati karena berisiko dari segi medis, psikologis, dan sosial, jelas Sukaryo. .
Jika kita melihat fenomena menurunnya usia menikah di beberapa negara atau bahkan generasi muda enggan berkeluarga, sebenarnya terdapat fenomena usia melakukan hubungan seks di luar nikah yang semakin muda.
Sukaryo menambahkan, data angka kesuburan spesifik usia (ASFR) 10-15 tahun belakangan ini mulai bermunculan. Padahal, 5-10 tahun lalu angka tersebut tidak ada.
“Ini berarti hubungan seks di luar nikah terjadi lebih cepat.
Ia menekankan bahwa para pemangku kepentingan harus lebih memperhatikan hubungan seks di luar nikah, yang merupakan fenomena yang sedang berkembang.
“Kita perlu lebih waspada karena hal ini nantinya akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga dan bisa berujung pada perceraian,” ujarnya.
Sukaryo mengatakan, pihaknya belum memiliki informasi atau penelitian mengenai fenomena menurunnya pernikahan di berbagai daerah. Namun, dia berharap data penurunan usia menikah bisa dikaji lebih mendalam.
“Sumber informasinya harus jelas, apakah lembaga yang melangsungkan pernikahan melaporkannya atau tidak. Ada KUA (Kantor Urusan Agama), Keuskupan, dan lembaga lainnya,” ujarnya.
“Saat ini, terlepas dari apakah perkawinan itu dicatat atau tidak. Karena meskipun hukum positif kita ikuti, ada juga perkawinan privat,” imbuhnya.
Sukaryo kemudian menyebutkan beberapa kemungkinan alasan mengapa generasi muda saat ini enggan menikah dini.
Beberapa di antaranya berkaitan dengan aspek psikologis, sosial, dan ekonomi yang perlu ditelaah. Ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa meningkatnya beban hidup membuat orang menjauh dari pernikahan.
“Sebenarnya sebaliknya, menurut penelitian saya di Jabar, orang menikah karena keluarga punya masalah keuangan. Makanya menikah. Sekarang fenomena itu belum begitu kita pahami,” jelas Sukaryo.
Sukaryo Teguh menduga ada alasan lain mengapa masyarakat enggan menikah dini. Hanya karena mereka memiliki karier yang bagus.
“Jadi saya tidak ingin mempersulitnya,” ujarnya.
Namun Sukaryo meminta apa yang disampaikan harus didukung data yang baik.
“Untuk melihat fenomena menurunnya jumlah perkawinan yang ada, perlu dikaji dari berbagai sisi dan sumber, sehingga menjadi nyata adanya kecenderungan tersebut, dimana gereja juga melangsungkan perkawinan yang tercakup dalam catatan sipil,” tutupnya.